Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Instruksi Presiden nomor 10 Tahun 2011

Instruksi Presiden (Inpres) nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru di Hutan Primer dan Lahan Gambut dan kebijakan moratorium pembalakan hutan Aceh hanya jadi macan ompong. Tak ada implementasi nyata atas dua kebijakan kehutanan itu. Kenyataannya, izin baru pembukaan hutan terus berlangsung, demikian pula penebangan hutan di Aceh. Pelaku penebangan pun tak ditindak.

"Dua kebijakan itu hanya tersimpan rapi di komputer jinjing atau laptop pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh. Belum terimplementasi dengan baik di lapangan," ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, TM Zulfikar, Selasa (22/5/2012).

Setahun yang lalu, lanjut Zulfikar, pada 20 Mei 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menandatangani kebijakan penting di sektor kehutanan, yakni Inpres 10 Tahun 2011, tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan PenyempurnaanTata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Kebijakan ini tentu saja sebuah langkah baik dan sepatutnya diberikan apresiasi sebagai sebuah usaha dalam rangka penyelamatan hutan di Indonesia.

Sebelum inpres tersebut keluar, Pemerintah Aceh telah lebih dulu mengeluarkan kebijakan moratorium pembalakan hutan pada Juni 2007, melalui Instruksi Gubernur (Ingub) Nanggroe Aceh Darussalam No. 05/INSTR/2007, tentang Penghentian Sementara Penebangan Hutan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (saat ini Provinsi Aceh).

Semestinya, dua kebijakan tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui penataan ulang atau redesain, penanaman kembali hutan atau reforestasi, dan menekan laju kerusakan hutan atau reduksi deforestasi, atau dikenal dengan singkatan konsep 3R. Konsep ini diharapkan dapat mewujudkan cita-cita hutan lestari rakyat Aceh sejahtera.

Jeda tebang hutan adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium tersebut ditentukan kurang lebih 15-20 tahun.

"Dua hal penting yang menjadi pertimbangan diberlakukannya kebijakan jeda atau moratorium tebang di Aceh adalah bahwa di Aceh terjadi berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor, dan gangguan satwa liar, yang antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali, serta adanya semangat untuk mengembalikan fungsi-fungsi hutan, dan untuk menata kembali strategi pembangunan hutan Aceh. Kebijakan moratorium yang dideklarasikan oleh Pemerintah Aceh tersebut seharusnya mengikat para pemegang," kata Zulfikar.

Konsesi penebangan, seperti hak penguasaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan, semestinya dihentikan. Kebijakan moratorium tebang jugs telah memandatkan kepada instansi di bawah lingkup Pemerintah Aceh memastikan bahwa moratorium ini terlaksana di lapangan.

Namun kehadiran dua kebijakan itu tak serta mertabmengatasi persoalan yang sejak lama ada ada di sektor kehutanan baik di Indonesia maupun di Aceh. Masalah-masalah tersebut di antaranya masalah korupsi, penegakan hukum yang lemah, penebangan liar, pembakaran hutan, konversi lahan menjadi perkebunan dan tambang, ekspansi yang tidak bertanggungjawab di lahan hutan dan rawa gambut, serta konflik antara manusia dengan satwa liar hingga konflik antara masyarakat adat dengan pihak pengusaha yang dilindungi oleh penguasa, dan berbagai persoalan lainnya yang semakin hari semakin rumit dan karut marut.

"Kebijakan Moratorium penebangan hutan di Aceh lebih kurang 5 tahun yang lalu hingga sekarang, ternyata masih belum mampu menyelamatkan hutan Aceh dari kerusakan. Catatan Walhi Aceh, jika pada tahun 2006 kerusakan hutan di Aceh masih sekitar 20.000 hektar hingga 21.000 hektar per tahun, pada akhir tahun 2010 kerusakan hutan di Aceh justru bertambah hingga mencapai 23.000 hektar hingga 40.000 hektar per tahun," ungkap dia.